Zha
(Menakar Pikiran yang Tertukar)OLEH : FAISAL ODDANG
Seperti kau Zha, sebaik-baiknya menggenangkan dan menenangkan kenang. Takkan lekang sepanjang ingatan berjalan.
Kita tidak pernah saling mengenal. Aku tidak bisa lebih baik mengenalmu selain dari akun twitter dan chat blackberry messenger. Dan Tuhan mengizinkan lebih dari itu. Tuhan paham, kita sama-sama suka menulis, dan suka membaca, Zha. Hingga Ia mempertemukan kita di tempat yang tepat; Fort Rotterdam, saat acara Makassar International Writers Festival 2012.
***
Syair-syair menyetubuhi telingaku. Para penyair itu sungguh kejam bagiku, waktu itu. kejam kerena menghadirkan suasana melankolis. Tidak selamanya suasana yang sedemikian ritmis nan romantis dapat memekarkan bibir orang-orang yang menginderainya. Seperti aku. Tersiksa. Bukankah seharusnya aku menikmatinya? Ah, tidak, Zha! Di malam yang setenang ingatanku, hanya satu alasanku untuk tersenyum; kedatanganmu. Bukankah kita telah mengikat janji untuk merekat tatap di Fort Rotterdam ini, Zha. Aku telah membayangkan kita berdampingan menyaksikan penulis-penulis hebat membaca karyanya. Dan selanjutnya bersamaan kita berujar; romantis yah? Aku membayangkan semuanya, Zha. Maukah kau menyatakannya? Pertanyaan itulah nanti yang akan kau jawab.
“Hi, aku Zha. Ini betul kamu, kan, Zal?”
Kau ternyata masih meragukanku, Zha. Mungkinkah fotoku di twitter terlalu gagah atau sebaliknya. Padahal aku sungguh beda denganmu Zha, tanpa menyebutkan namamu pun aku sudah yakin itu kau. Senyum bahelmu yang menegeskannya, Zha. Kau harus tahu, aku selalu mengangumi senyum itu. Di senyum yang menyungai di bibirmu, sungguh, aku ikan yang ingin tenggelam. Mati. Dan terkubur dengan damai di sana. Di senyummu. Aku ingin membisikkn kalimat itu di cuping telingamu, Zha, tapi debarku telanjur menundanya.
***
Aku baru saja ingin membuka pembicaraan, tapi kau mendahuluiku.
“Kau sudah lama menunggu?” entah itu hanya kalimat basa-basimu atau memang kau sedikit merasa bersalah, membuatku menyaksikan sendiri beberapa puisi panjang selesai dibacakan oleh penulisnya.
“Tidak apa-apa kok, Zha.” Kalimat itu sudah cukup menjelaskan bahwa aku menunggu lumayan lama, tapi tidak mempermasalahkannya sama sekali. Aku memang suka berhemat. Termasuk menghemat kata-kata.
Para penyair romantis yang membacakan karyanya di panggung MIWF 2012 sudah tidak kejam lagi. Bahkan kini berubah menjadi amat baik. Kau yang merubahnya, Zha. Aku selalu percaya orang yang dicintai bisa berubah menjadi penyihir tanpa perlu merapalkan mantra sedikitpun. Mungkinkah kau menyadari Zha, bahwa ekor mataku sangat sering mengibas-kibas ke arah wajahmu. Yang paling sering ke senyummu.
“Kau bisa membuatkan puisi untukku?”
Aku tercekat. Aku tidak sampai mengira kau akan menyulut naluri penyairku, Zha. Kita mematung dalam beberapa jenak. Nafasku lebih berat dari sebelumnya.
“Hanya dituliskan saja, kan, Zha?”
“Kalau bisa, aku mau kau membacakannya di depanku.”
Kau sepertinya tahu, Zha, aku belum pernah membaca puisi di depan seorang wanita. Kau sepertinya ingin melenyapkan remah-remah keberanian yang berusaha saya kumpulkan sejak pertama berjanji bertemu di tempat ini. Ya, hanya bertemu. Bukan membuat dan membaca puisi.
“Oke, ditunggu yah, Zha. Besok malam selesai.”
***
Aku hanya butuh seperempat jam untuk menyelesaikan puisi yang kuberi judul Menakar Pikiran yang Tertukar. Judul itu bukan sekadar judul Zha, pikiran kita memang tertukar; kita sama-sama ingin jadi penulis. Pikiran yang tertukar itu memang perlu ditakar pula, Zha, sampai di mana kita menukarnya.
Aku mengajakmu ke tempat yang bagiku lebih romantis daripada tempat kita sebelumnya. Zha, kita api dan kayu bakar; selalu meniadakan namun setia untuk saling membutuhkan. Ketika kubacakan larik puisi itu, kutemukanlah kau tersenyum dengan binar di matamu. Barangkali aku tidak cukup romantis, tapi aku sudah merasa romantis karena senyummu, Zha.
***
Ini adalah malam terakhir kita di tempat ini, Zha. Kita masih duduk dalam lingkar tiang-tiang obor yang ingin kuserupakan tatapanmu; hangat. Setelah selesai membaca dan dibacakan puisi, kita sama-sama berubah menjadi pendiam. Aku jadi heran, apakah puisiku jelek atau terlalu indah sehingga membuatmu berlama-lama menikmatinya. Sedangkan aku terdiam karena semua keberanianku telah habis karena membacakan puisi untukmu.
Kita benar-benar memiliki banyak kesamaan, Zha. Belakangan aku tahu kau juga suka meminum kopi, seperti juga aku. Bahkan hampir semua yang ada di diri kita sama. Dari hobi, makanan dan minuman kesukaan. Bahkan sampai ke urusan asmara; kita sama-sama memiliki pacar, mereka juga sama, tidak suka membaca, apalagi menulis. Kau sudah dua tahun pacaran sedangkan aku hampir empat tahun.
Tapi masih ada satu hal yang sebenarnya aku ingin, kita sama dalam hal ini; aku mencintaimu Zha, apakah kali ini kita sama lagi?(*)
Makassar, 21-Juni-2012
Bagian ending dari cerpennya bener-bener 'twisted'! :D
BalasHapus