Sabtu, 07 Juli 2012

BUNG PARANI (Harian Fajar 1 Juli 2012)

“ Bung Parani”
(Cerpen Faisal Oddang)


            Sumur itu masih menyimpan sejulur misteri yang terus membelitku. Sejak berusia lima tahun aku ingin sekali ke sana, sekadar bermain saja. Tapi Nenek selalu melarang, femmali, katanya. Hingga kini aku telah disunat—akil baliq, tapi larangan itu tidak pernah tergerus sedikitpun. Bahkan pikiranku yang mulai dimatangkan usia tidak berpengaruh, tetap saja, femmali.
            Anehnya Nenek belum memberi alasan yang jelas atas larangannya itu. Sumur yang berjarak 100 meter dari rumah panggungku memang jarang terjamah manusia, hanya ternak-ternak penduduk yang sesekali menyambanginya. Mungkin karena angker. Sebab lazimya tempat tak terjamah akan dikeramatkan. Itu hanya penafsiranku saja, barangkali Nenek memiliki alasan yang berbeda.
            “Aku ingin ke sana, Nek, ke sumur di samping kebun Puang Beddu.”
            “Apa? Mau apa ke sana?”
            Bola mata Nenek sontak membulat-besar. Air mukanya menegaskan penolakan. Dan aku tidak perlu lagi menjawab. Jawabanku tidak akan berpengaruh. Aku meninggalkannya dengan kalimat penolakan yang masih tertahan di tenggorokan.
***
            Di kampungku, Tosora, sekitar 15 kilometer dari pusat Kabupaten Wajo, masyarakatnya masih percaya akan hal-hal mistik. Mitos-mitos turun-temurun masih terpelihara dengan baik. Begitu pula dengan Nenek, sekali femmali pantang untuk dilanggar. Kalau bukan nyawa yang melayang, orang yang melanggar akan sakit menahun. Nenek sangat percaya akan hal itu.
            Keinginanku untuk pergi ke sumur itu semakin menjadi-jadi. Saban hari aku terus merajuk pada Nenek. Meski jawabannya tetap sama, aku tidak mau menyerah. Pada suatu waktu yang tidak kuingat jelas, kapan tepatnya, Nenek memanggilku duduk di sebelahnya.
            “Kamu mau dengar kisah tentang sumur yang ingin sekali kamu sambangi itu?”
            Aku tercenung mendengarnya. Ada semacam rasa ingin tahu meloncat-loncat dalam diriku.
            “Mau!”
            Tegasku tanpa pikir panjang.
            Nenek memulai ceritanya dengan terbata-bata. Ada semacam duka menggelayut di bibirnya.  Konon diriwayatkannya, sumur itu dinamai Bung Parani, bung yang dalam bahasa Bugis berarti sumur, sedangkan parani barangkali dari kata warani yang berarti berani. Aku menerka-nerka saat Nenek mulai menyebutkan nama sumur idamanku, dan ternyata terkaanku benar, aku tahu itu setelah cerita Nenek mengalun semakin jauh.
            Akhirnya aku tahu alasan Nenek selama ini melarangku ke sumur itu. kakek buyutku adalah prajurit kerajaan Wajo, waktu itu Nenek belumlah lahir, kisah yang ia terakan kepadaku adalah hasil cerita turun-temurun. Keluarga kami memang sangat pintar merawat kenangan. Di sumur itu Kakek dimandikan sebelum terjun di medan perang, konon air dari bung parani adalah air paling suci di seluruh tanah Wajo, airnya dituahkan, mustajab untuk penyembuhan. Selain itu prajurit kerajaan yang dimandikan dengan airnya akan mendapat semacam kekuatan mistis. Nenek sangat berapai-api menceritakannya waktu itu.
            Selain mitos tentang airnya yang betuah, bung parani konon memiliki penunggu, belut yang sebesar lengan orang dewasa, warnanya abu-abu menghampiri putih, disebabkan umurnya yang ratusan tahun. Menurut cerita Nenek, belut itu selalu dijadikan tanda, jika dalam ritual memandikan prajurit belut itu tidak nampak berenang di dasar sumur, maka kerajaan akan kalah dalam berperang. Begitu pula sebaliknya.
            “Kakek buyutmu….”
            “Kakek kenapa, Nek?”
            Kejarku pada kalimatnya yang mulai tersendat duka, tampaknya.
            Dikisahkan oleh Nenek, kakeknya gugur dalam pertempuran melawan kerajaan Bone, saat dimandikan belut itu tidak tampak dan hasilnya kerajaan Wajo takluk.
***
            Terang saja Nenek melarangku ke bung parani, ternyata tempat itu membuat Nenek kehilangan segalanya; orang-orang yang disayangi. Kini tinggal aku satu-satunya harta yang ia miliki. Ibu dan bapakku meninggal saat aku baru saja dilahirkan, sekitar satu minggu umurku waktu itu.
            “Kamu harus tahu, alasan Nenek melarangmu ke sumur itu.”
            Aku kaget mendengarnya.
            “Bukankah Nenek telah menceritakannya, tentang Kakek yang gugur dalam peperangan?”
            “Bukan! Ada hal lain yang lebih penting daripada itu.”
            “Apa, Nek?”
            Aku penasaran. Sangat penasaran.
            Saat Nenek mulai mengisahkan hal yang ingin ia sampaikan kepadaku, keresahan begitu ketat berkelebat di kepalaku. Aku baru tahu; semalam sebelum aku terlahir Ibu bermimpi mandi di sumur tua itu, konon dalam mimpinya ia melampari belut yang berenang di permukaan sumur, karena merasa belut itu akan mengotori air sumur, keesokan harinya, aku lahir dengan selamat dan Ibu meninggal saat berjuang malahirkanku. Tapi perihal mimpi itu sempat diceritakan kepada Bapak. Bapak geram, ai mengambil cangkul, tersuruk-tersuruk berjalan ke arah sumur, ia akan menimbun sumur itu, sumur yang baginya telah menghilangkan nyawa Ibu. Belumlah selesai ditimbunnya, kepala Bapak  mendadak pusing. Penglihatannya kacau. Kata Nenek, Bapak meninggal karena ditegur oleh penunggu sumur atas kelancangannya.
            Cerita Nenek tentang sumur tua di samping kebun Puang Beddu, membuatku semakin penasaran. Aku sangat percaya ucapan guru mengajiku; ajal ditentukan oleh Allah, de’ nattelleng mata esso ritenggana bitarae. Aku sangat percaya, matahari takkan tenggelam sebelum senja, seperti juga ajal yang telah memiliki garisnya sendiri.
            Pagi-pagi sekali, aku mengambil jeriken, serta timba, aku lalu minta izin kepada Nenek  untuk mengambil air di sumur Puang Masse. Tentu aku berbohong. Aku menilisik jalan setapak dalam remang, menuju bung parani. Ingatan tentang Kakek, Ayah, serta Ibu, berkejaran. Ingatan tentang kematian yang tidak wajar. Tapi hal itu sedkitpun tidak menciutkan nyaliku.
            Tanpa gemetar  aku berdiri di bibir bung parani, mengulurkan timba, lalu menuangkan air ke dalam jeriken. Setelah jerikenku penuh, mataku tiba-tiba menangkap seekor belut (mungkin belut yang diceritakan Nenek) berenang mengitari pinggir sumur. Aku merasa sebuah kemenangan akan menghampiriku. Aku segera pulang. Jalanku seperti berlari rasanya.
            Di rumah panggung kami yang sederhana orang-orang menyemut.
            “Nenekmu meninggal setelah muntah darah.”
            Puang Masse menuntun lenganku menanjaki tangga. Aku berlari memeluk Nenek.
            “Nek, sumur itu ternyata tidak melukaiku, lebih-lebih merenggut nyawaku.”
            Bisikku padanya dengan penuh rasa kemenangan.(*)

Wajo(Tale), 28 Juni 2012
Nb; Bung Parani adalah situs sejarah yang dimiliki Kabupaten Wajo, terletak di Tosora, Kecamatan Majauleng, merupakan tempat memandikan prajurit sebelum berperang. Mitos-mitos seperti ‘belut’ memang selalu dibicarakan masyarakat.

ZHA (HARIAN FAJAR MAKASSAR 'KeKeR' 30 Juni 2012)

             Zha
                                                              (Menakar Pikiran yang Tertukar)

                                                                       OLEH : FAISAL ODDANG

            Seperti kau Zha, sebaik-baiknya menggenangkan dan menenangkan kenang. Takkan lekang sepanjang ingatan berjalan.
            Kita tidak pernah saling mengenal. Aku tidak bisa lebih baik mengenalmu selain dari akun twitter dan chat blackberry messenger. Dan Tuhan mengizinkan lebih dari itu. Tuhan paham, kita sama-sama suka menulis, dan suka membaca, Zha. Hingga Ia mempertemukan kita di tempat yang tepat; Fort Rotterdam, saat acara Makassar International Writers Festival 2012.

                                                                                      ***

            Syair-syair menyetubuhi telingaku. Para penyair itu sungguh kejam bagiku, waktu itu. kejam kerena menghadirkan suasana melankolis.  Tidak selamanya suasana yang sedemikian ritmis nan romantis dapat memekarkan bibir orang-orang yang menginderainya. Seperti aku. Tersiksa. Bukankah seharusnya aku menikmatinya? Ah, tidak, Zha! Di  malam yang setenang ingatanku, hanya satu alasanku untuk tersenyum; kedatanganmu. Bukankah kita telah mengikat janji untuk merekat tatap di Fort Rotterdam ini, Zha. Aku telah membayangkan kita berdampingan menyaksikan penulis-penulis hebat membaca karyanya. Dan selanjutnya bersamaan kita berujar; romantis yah? Aku membayangkan semuanya, Zha. Maukah kau menyatakannya? Pertanyaan itulah nanti yang akan kau jawab.
            “Hi, aku Zha. Ini betul kamu, kan, Zal?”
            Kau ternyata masih meragukanku, Zha. Mungkinkah fotoku di twitter terlalu gagah atau sebaliknya. Padahal aku sungguh beda denganmu Zha, tanpa menyebutkan namamu pun aku sudah yakin itu kau. Senyum bahelmu yang menegeskannya, Zha. Kau harus tahu, aku selalu mengangumi senyum itu. Di senyum yang menyungai di bibirmu, sungguh, aku ikan yang ingin tenggelam. Mati. Dan terkubur dengan damai di sana. Di senyummu. Aku ingin membisikkn kalimat itu di cuping telingamu, Zha, tapi debarku telanjur menundanya.

                                                                                        ***

            Aku baru saja ingin membuka pembicaraan, tapi kau mendahuluiku.
            “Kau sudah lama menunggu?” entah itu hanya kalimat basa-basimu atau memang kau sedikit merasa bersalah, membuatku menyaksikan sendiri beberapa puisi panjang selesai dibacakan oleh penulisnya.
            “Tidak apa-apa kok, Zha.” Kalimat itu sudah cukup menjelaskan bahwa aku menunggu lumayan lama, tapi tidak mempermasalahkannya sama sekali. Aku memang suka berhemat. Termasuk menghemat kata-kata.
            Para penyair romantis yang membacakan karyanya di panggung MIWF 2012 sudah tidak kejam lagi. Bahkan kini berubah menjadi amat baik. Kau yang merubahnya, Zha. Aku selalu percaya orang yang dicintai bisa berubah menjadi penyihir tanpa perlu merapalkan mantra sedikitpun. Mungkinkah kau menyadari Zha, bahwa ekor mataku sangat sering mengibas-kibas ke arah wajahmu. Yang paling sering ke senyummu.
            “Kau bisa membuatkan puisi untukku?”
            Aku tercekat. Aku tidak sampai mengira kau akan menyulut naluri penyairku, Zha. Kita mematung dalam beberapa jenak. Nafasku lebih berat dari sebelumnya.
            “Hanya dituliskan saja, kan, Zha?”
            “Kalau bisa, aku mau kau membacakannya di depanku.”
            Kau sepertinya tahu, Zha, aku belum pernah membaca puisi di depan seorang wanita.  Kau sepertinya ingin melenyapkan remah-remah keberanian yang berusaha saya kumpulkan sejak pertama berjanji bertemu di tempat ini. Ya, hanya bertemu. Bukan membuat dan membaca puisi.
            “Oke, ditunggu yah, Zha. Besok malam selesai.”

                                                                                               ***

            Aku hanya butuh seperempat jam untuk menyelesaikan puisi yang kuberi judul Menakar Pikiran yang Tertukar. Judul itu bukan sekadar judul Zha, pikiran kita memang tertukar; kita sama-sama ingin jadi penulis. Pikiran yang tertukar itu memang perlu ditakar pula, Zha, sampai di mana kita menukarnya.
            Aku mengajakmu ke tempat yang bagiku lebih romantis daripada tempat kita sebelumnya. Zha, kita api dan kayu bakar; selalu meniadakan namun setia untuk saling membutuhkan. Ketika kubacakan larik puisi itu, kutemukanlah kau tersenyum dengan binar di matamu. Barangkali aku tidak cukup romantis, tapi aku sudah merasa romantis karena senyummu, Zha.

                                                                                                ***

            Ini adalah malam terakhir kita di tempat ini, Zha. Kita masih duduk dalam lingkar tiang-tiang obor yang ingin kuserupakan tatapanmu; hangat. Setelah selesai membaca dan dibacakan puisi, kita sama-sama berubah menjadi pendiam. Aku jadi heran, apakah puisiku jelek atau terlalu indah sehingga membuatmu berlama-lama menikmatinya. Sedangkan aku terdiam karena semua keberanianku telah habis karena membacakan puisi untukmu.
            Kita benar-benar memiliki banyak kesamaan, Zha. Belakangan aku tahu kau juga suka meminum kopi, seperti juga aku. Bahkan hampir semua yang ada di diri kita sama. Dari hobi, makanan dan minuman kesukaan. Bahkan sampai ke urusan asmara; kita sama-sama memiliki pacar, mereka juga sama, tidak suka membaca, apalagi menulis. Kau sudah dua tahun  pacaran sedangkan aku hampir empat tahun.
            Tapi masih ada satu hal yang sebenarnya aku ingin, kita sama dalam hal ini; aku mencintaimu Zha, apakah kali ini kita sama lagi?(*)

Makassar, 21-Juni-2012